Friday, December 28, 2018

Filosofi Surjan Lurik

Pakaian, mode pakaian, dan gaya berpakaian menjadi ukuran lain untuk melihat karakteristik kehidupan. Pakaian juga mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, perbedaan pandangan sosial politik dan religi, serta menunjukkan adanya persebaran komoditi dagang dan ide-idenya (Margana, 2010: 8-9).

Pakaian dalam makna budaya menjadi identitas personal didasarkan pada keunikan karakteristik seseorang. Liliweri dalam bukunya (2009) mengatakan bahwa identitas sosial terbentuk oleh identitas budaya. Perilaku budaya, suara, gerak-gerik anggota tubuh, nada suara, cara berpidato, pakaian, dan guntingan rambut menunjukkan ciri khas seseorang yang tidak dimiliki oleh orang lain (Liliweri, 2009: 97). 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pakaian dapat menjadi identitas sosial dan budaya dari daerah tertentu yang berbeda satu sama lain dengan daerah lainnya.

Pakaian atau dalam bahasa jawa disebut dengan “pengageman” yang melekat di badan adalah simbol identitas budaya yang dalam sekali maknanya, disamping simbol lain yakni bahasa, rumah tinggal, makanan ataupun seni musik dalam kelengkapan upacara tradisi. Tanpa disadari, pakaian yang banyak dikenakan saat ini telah terbaratkan dan menjauhkan orang Jawa dari jati diri mereka. Oleh karena itu perlu bagi masyarakat untuk mengenal sejarah maupun makna filosofis pakaian tradisional. Dalam hal ini akan diuraikan informasi-informasi mengenai “pengageman takwa” atau surjan.

1. Sejarah Pengageman Takwa (Surjan)
Pengageman Jawa sebagai penutup badan dibuat oleh Sunan Kalijaga berdasar QS Al-A’raf 26: ’’Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa (dimaksud agar selalu bertakwa kepada Allah SWT) itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” 

Oleh Sunan Kalijaga pengertian ayat diatas dijadikan model pakaian rohani (takwa) agar si pemakai selalu ingat kepada Allah SWT, kemudian oleh raja-raja Mataram pakaian takwa ini dipakai hingga sekarang ini.

Setelah perjanjian Giyanti tahun 1755, Sultan HB I menanyakan perihal pakaian yang perlu diatur kepada Susuhunan Paku Buwana III. Pangeran Mangkubumi mengatakan bahwa Ngayogyakarta sudah siap dengan rencana mewujudkan model ’pakaian takwa’, sedang PB III mengatakan belum siap. Lalu Mangkubumi memperlihatkan rencana pakaian tersebut dan mengatakan jika dikehendaki dipersilahkan dipergunakan oleh Surakarta Hadiningrat. 

PB III setuju sambil menanyakan bagaimana dengan pakaian Ngayogyakarta, yang dijawab bahwa untuk Ngayogyakarta akan melanjutkan saja pengageman takwa dari Mataram yang suda ada.

Pakaian takwa sering disebut SURJAN (sirajan) yang berarti Pepadhang atau Pelita. Di dalam ajarannya HB I bercita-cita agar pimpinan Negara dan Penggawa Kerajaan memiliki Jiwa dan Watak SATRIYA, dimana tidak akan lepas dari sifat-sifat: Nyawiji, bertekad
golong-gilig baik berhubungan dengan Allah SWT maupun peraturan dengan sesama. 

Sifat Greget (tegas bersemangat), Sengguh (percaya diri penuh jati /harga diri) dan sifat Ora Mingkuh , tidak melepas tanggung jawab dan lari dari kewajiban. Maka figur satriya Ngayogyakarta ideal yakni seseorang yang dilengkapi pengageman Takwa. Bentuk pakaian Takwa adalah; Lengan panjang, ujung baju runcing, leher dengan kancing 3 pasang (berjumlah 6), dua kancing di dada kanan kiri, tiga buah kancing tertutup.

Lalu muncul surjan “ ontrokusuma” yang bermotif bunga (kusuma) jenis dan motif kain yang digunakan untuk membuat surjan tersebut bukalah kain polos ataupun lurik buatan dalam negeri saja. Namun untuk surjan ontrokusuma terbuat dari kain sutra bermotif hiasan berbagai macam bunga. Surjan Ontrokusuma ini hanya kusus sebagai pakaian para bangsawan mataram. Ketika dalam lingkungan karaton baju ini hanya boleh dipakai oleh Sri Sultan saja ataupun oleh Pangeran Putra Dalem itupun atas perintah dari Sri Sultan sendiri.

Kesaksian akan adanya
informasi busana surjan
ontrokusuma , dapat dilacak dari ceritera rakyat yang hingga kini masih didongengkan secara turun-temurun oleh rakyat di sepanjang pantai selatan Kabupaten Cilacap (dahulu kala bernama Merden). Yaitu saat Sultan Agung mempersiapkan penyerangan ke Batavia tahun 1928, rakyat disepanjang daerah Merden (pesisir selatan) Kabupaten Banyumas, menyaksikan adanya seorang pangeran dari Mataram yang selalu berpakaian surjan ontrokusuma , surjan bermotif hiasan berbagai macam bunga. Tidak ada yang tahu siapa nama bangsawan tersebut, maka rakyat setempat menyebutnya sebagai Pangeran Ontrokusuma. 

Beliau bertugas sebagai koordinator pengumpulan persediaan bahan pangan untuk logistik bagi pasukan yang akan menyerbu Batavia, bahan pangan itu dikirimkan ke Karawang, Cirebon. Sedang pasukan dari Kabupaten Banyumas dipimpin oleh Bupati Banyumas, Tumenggung Mertayudha.

Kemudian muncul Surjan dengan motif Jagad yaitu kain surjan yang bermotif bunga yang tidak tegas, berbeda dengan motif Ontrokusuma yang menggunakan warna yang mencolok dan motif yang beraneka ragam.
Sedang pakaian takwa untuk putri (Pengageman Janggan) dikenakan untuk Para Abdi Dalem Putri dan Keparak Para Gusti dengan warna kain hitam. Ada pula pakaian takwa untuk para keturunan, kadang, saudara, prepat (pengiring), juga abdi terdekat dan punakawan. Pakaian ini disebut dengan Pengageman PRANAKAN.

Pranakan berarti pakaian meliputi wadah bayi, rahim ibu. Baju terbuat dari kain lurik, bercorak garis lirik
telu papat (telupat). Menurut sejarah, pengageman pranakan diciptakan Sri Sultan Hamengku Buwana V yang idenya sesudah kunjungan beliau ke Pesantren di Banten, melihat santriwati berbaju kurung dengan lengan panjang, berlubang sampai di bawah leher. Cara pakai kedua tangan bersama-sama dimasukkan, baru kemudian kepala masuk lubang yang terbelah, lalu merapikan dengan menarik bagian bawah baju.


2. Filosofi
Surjan menurut KRT Jatiningrat Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta berasal dari istilah siro + jan yang berarti pelita atau yang memberi terang. Surjan juga disebut pakaian “takwa”. Oleh karena itu di dalam pakaian itu terkandung makna-makna filosofi yang cukup dalam, di antaranya bagian leher baju surjan memiliki kancing 3 pasang (6 biji kancing) yang kesemuanya itu menggambarkan rukun iman.

Rukun iman tersebut adalah iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab, iman kepada utusan Allah, iman kepada hari kiamat, iman kepada takdir. Selain itu surjan juga memiliki dua buah kancing di bagian dada sebelah kiri dan kanan. Hal itu adalah simbol dua kalimat syahadat yang berbunyi, Ashaduallaillahaillalah
dan Wa Ashaduanna Muhammada
Rasulullah . 

Ada pula tiga buah kancing di dalam (bagian dada dekat perut) yang letaknya tertutup (tidak kelihatan) dari luar yang menggambarkan tiga macam nafsu manusia yang harus diredam/dikendalikan/ditutup. Nafsu-nafsu tersebut adalah nafsu Aluamah, Amarah, dan Supiyah. Terdapat 5 kancing pada bagian lengan panjang kiri dan kanan. Angka 5 lazim berkaitan dengan rukun Islam (syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji) dan juga lima priyagung dalam Islam (Nabi Muhammad, kanjeng Sayidina Ngali, Gusti Sri Ayu Patimah, Gusti Bagus Kasan, dan Gusti Bagus Kusen).

Jenis pakaian atau baju ini bukan sekadar untuk fashion dan menutupi anggota tubuh supaya tidak kedinginan dan kepanasan serta untuk kepantasan saja, namun di dalamnya memang terkandung makna filosofi yang dalam. Pakaian takwa ini di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta hanya diperkenankan dipakai oleh raja (sultan) dan para pangeran putra raja saja.

Selain itu, ada pula pakaian takwa yang dikhususkan untuk putri yang biasanya dikenakan oleh abdi dalem putri, para penabuh gamelan (wiyaga), dan para sinden serta abdi keparak sesuai dengan perintah dan tatacara yang diperkenankan oleh keraton. Baju takwa untuk putri ini berwarna hitam dan sering disebut sebagai “ageman janggan”.

Ageman janggan memiliki warna dasar hitam, warna hitam
adalah simbol ketegasan, kesederhanaan, dan kedalaman. Yakni sifat kewanitaan yang suci dan bertakwa. Sedangkan janggan artinya bunga tumbuhan gadhung atau kembang gadhung. Simbol
tersebut hendak melukiskan keindahan dan kesucian kaum perempuan karaton dan perempuan perempuan jawa pada umumnya.

Sedangkan pakaian takwa untuk para keturunan, kadang, saudara, prepat (pengiring), juga abdi terdekat dan punakawan disebut dengan Pengageman PRANAKAN. Pengageman pranakan adalah surjan yang mirip dengan kaos berkerah dalam hal cara mengenakannya. Dinamakan pranakan karena ketika mengenakannya, seseorang seperti keluar dari Rahim seorang ibu. Pranakan artinya wadhah bayi atau Rahim ibu. Jadi, para abdi yang mengenakannya, layaknya seorang yang suci, murni, dan fitrah.
Pranakan juga berarti prepat, punakawan atau abdi yang dekat dengan hati. Hal ini dilukiskan dengan jenis lurik yang digunakan bergaris ¾ atau telu-papat diringkas menjadi telupat . Hal tersebut memiliki makna kewelu minangka prepat , yang berarti Rinengkuh dados kadhang ing antawisipun Abdi Dalem setunggal sanesipun, kaliyan Hingkang Sinuwun Kanjeng Sultan . 

Warna pakaian adalah Biru Tua, yang berarti sangat dalam seperti warna birunya laut dalam, susah diduga, tak bisa dianggap remeh dan tidak sembarangan juga mengacu kepada kedalaman dan kekhusyukan hati.
Baju Pranakan ini memiliki bentuk pada leher terdapat tiga pasang kancing berjumlah 6 buah perlambang Rukun Iman, juga disebut model belah Banten.
Terdapat 5 kancing pada bagian lengan panjang kiri dan kanan. Angka 5 seperti ini lazim berkaitan dengan rukun Islam. Proses seseorang mengenakan pengageman Pranakan digambarkan seakan si pemakai masuk ke dalam rahim ibu, lubang pranakan dimana tiap manusia pernah menghuni sebelum dilahirkan. Dengan aman dan nyaman oleh dekapan ibu, bayi yang di dalam rahim secara alamiah tinggal, sandi Cinta Kasih golong-gilig . 

Pranakan adalah juga Pakaian untuk Penggawa Kraton dengan corak dan model sama, dimaksud adanya demokratisasi di Ngayogyakarta Hadiningrat.

Senada dengan yang telah dijelaskan KRT Jatiningrat, KRT Rinta Iswara atau biasa dipanggil dengan Romo Rinta, sejarawan dan juga sebagai wakil dari Pengageng Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam selembar surjan (baju adat jawa). 

Surjan merupakan sebuah pengageman takwa (libsut taqwa ), sebuah pakaian rohani yang diprakarsai oleh Sunan Kalijaga (abad 16 M). Surjan mengacu kepada kata Arab yang terdiri dari aksara sa-ra-ja yang membentuk kata-kata Arab yang terdiri dari aksara sa-ra-ja yang membentuk kata-kata: surojan, sirojun, saraja, atau sarjan. Kata-kata itu terkait dengan assaraju (jamak: surujan) muniru yang artinya pelita bercahaya penerangan jalan (suluk). Enam buah kancing di bagian leher mengacu kepada rukun Iman: Iman kepada Allah, Malaikat, Kitabullah, Rasulullah, Hari Kiamat, dan takdir. Dua kancing di dada kanan kiri mengacu kepada syahadatain (sekaten) atau dua kalimat syahadat. 

Tiga kancing bagian dada yang tertutup dan tak terlihat dari luar mengacu kepada 3 macam nafsu yang harus dikendalikan oleh seorang hamba Allah. Yakni nafsu Aluamah, Amarah, dan Supiyah . Kedua lengan panjangnya kanan kiri berkancing 5 buah lambang Rukun Islam dan mengacu kepada sifat teguh dan kukuh, yang tidak mudah terombang-ambing. Dahulu, yang diperkenankan mengenakan pengageman takwa ini hanya Sri Sultan dan para Pangeran Putra Dalem saja.

Menurut K.M.T. Sukarno Broto, Abdi dalem karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Baju pranakan untuk abdi warna pakaiannya Biru Tua dengan motif garis-garis, kancing baju dan lengan sama seperti surjan (pakaian takwa) maknanya yaitu mengenai ke-Islaman. Tidak semua abdi dalem mengerti makna baju takwa (pengageman takwa). Baju abdi dalem dahulu tidak diberikan oleh Karaton melainkan membuat sendiri sesuai pakem yang di berikan Karaton, namun saat ini baju abdi dalem semuanya di berikan sehingga semuanya sama.
Abdi dalem dibagi menjadi dua. Abdi dalem punokawan dan abdi dalem keprajan Abdi dalem keprajanan ini mayoritas berasal dari kalangan PNS, akademisi, profesi dan sebagainya.
Menanggapi hal tersebut Romo Rinta, mengatakan bahwa saat ini setiap sebulan sekali diadakan pendidikan kilat untuk para abdi dalem karaton. Nantinya mereka akan diberitahu makna dari pakaian (pengageman), cara menggunakannya, sejarah, filosofi, sehingga baju yang digunakan tidak hanya melekat pada tubuh mereka namun juga diresapi sebagai pengingat tingkah laku yang berbudi luhur.

3. Ragam Pakaian Takwa
Berdasarkan pemaparan Romo Rinto di Tepas Widya Budaya Karaton, surjan ada bermacam-macam dilihat dari motifnya, yaitu:
· Surjan Ontrokusumo sebagai pakaian para bangsawan Mataram
· Surjan Lurik sebagai pakaian seragam bagi aparat kerajaan hingga prajurit dan rakyat.
· Surjan Teluh Watu (Surjan Tenun)
· Surjan Ksatrian sebagai pakaian kebesaran pangeran
· Pranakan
· Janggan


4. Mitos
Penulis mendapati informasi bahwa ada yang mengatakan jika kita menggunakan surjan maka berat badan akan stabil. Menurut K.R.T Condro Abdi dalem Tepas Widya Budaya ahli kearsipan data Karaton mitos itu dapat dibenarkan namun jika menggunakan cara memakai surjan yang benar dengan kain batik, kendit (tali), stagen, lontong (ikat pinggang). Menurut beliau bisa jadi berat badan akan stabil karena tali mengikat pada bagian perut dengan kencang tiap memakai surjan.


5. Pembuatan Surjan
Kain surjan Ageman Sultan menurut Romo Rinta berasal dari bahan tekstil jadi yang berhias motif bunga-bunga, bahan tersebut diimport dari luar negeri. Sedangkan kain surjan lurik biasa dibuat dengan tenunan (ATBM) atau ada pula dari bahan tekstil jadi bermotif garis (K.R.T. Rinta Iswara: 2016).
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu daerah yang memiliki potensi tinggi di bidang kerajinan tekstil tradisional khususnya kain tenun lurik. Kain tenun lurik ini proses pembuatannya memang relatif cukup lama karena pengerjaannya cukup rumit. Motif yang dibuat oleh para pengrajin tenun sangat erat dengan nilai-nilai budaya Jawa sehingga mempunyai nilai seni budaya yang tinggi.

Kata lurik sendiri berasal dari bahasa Jawa, lorek yang berarti garis-garis, yang merupakan lambang kesederhanaan. Sederhana dalam penampilan maupun dalam pembuatan namun sarat dengan makna.

Kain tenun lurik tradisional motif kraton tersebut, dibuat dengan alat tenun non mesin. Di daerah Bantul Yogyakarta, hanya ada satu pengrajin yang masih menggunakan alat tenun tradisional, yakni perajin tenun Lurik Kurnia, Di Krapyak, Sewon, Bantul.

6. Pengembangannya
Baju surjan saat ini digunakan sebagai fashion pada masyarakat umum. Dipakai oleh anak-anak, remaja, dan dewasa dipadu-
padankan dengan bawahan celana
jeans. Surjan lurik dipakai dengan kancing terbuka lalu menggunakan kaos di dalamnya. Motif surjan lurik juga digunakan untuk bahan kain tas, dompet, dan sebagainya. Motif baju surjan lurik saat ini banyak dijual terutama di kota Yogyakarta. Motif surjan lurik untuk masyarakat umum berbeda dengan yang digunakan oleh keraton. Warna kainnya lebih beragam dan garisnya lebih lebar.

Namun saat peneliti menanyakan motif-motif surjan yang berkembang dimasyarakat digunakan untuk tas, dompet dan sebagainya kepada Romo Tirun. Beliau tidak setuju dengan hal tersebut, hal tersebut akan merubah makna. Tidak lagi memiliki filosofi (menghilangkan makna). Bahkan pengageman surjan jika sudah diberi penyangga pundak yang kaku seperti jas itu sudah tidak dapat dikatakan lagi sebagai surjan, karena menurut beliau itu diadaptasi seperti jas yang kaku, mengacu pada budaya Eropa bukan budaya jawa.


7. Nilai Positif
Romo Tirun mengatakan bahwa nilai-nilai luhur yang dapat diangkat dari pakaian takwa tersebut adalah ketakwaan, persatuan dan kesatuan yang intinya “golong gilik”golong artinya bulat tidak bersudut gilik artinya silindris memanjang (tanpa sudut) yang mengandung arti persatuan dan kesatuan yang tanpa syarat yang menyatu, satu antara yang lain menyatu antara alam, sesama makhluk dan Tuhannya. 

Harapan para Sunan untuk masyarakat agar mampu menciptakan demokratisasi memiliki bahasa yang satu yaitu bahasa kedaton atau bahasa bagongan dengan tujuan disamakan satu dengan yang lain. Begitu pula Sultan dengan Abdi Dalem seperti saudara bukan seperti Raja dengan pembantu rumah tangga, tidak dipandang sebagai orang lain malainkan bersaudara dengan Sultan. 

Hal tersebut dicetuskan dengan membuat pakaian yang melambangkan persatuan dan kesatuan. Intinya adalah gotong royong berat sama dipikul ringan sama dijinjing yaitu Pancasila 5 sila diperas menjadi 3 Sosio demokrasi Sosio nasionalisme dan Ketuhanan yang Maha Esa dari 3 sila itu menjadi 1 yaitu Eka Sila yaitu gotong royong inti daripada Pancasila adalah gotong royong, musyawarah utuk mufakat budaya rembugan musyawarah mufakat itu berembuk bersama bukan secara voting. 

Inti dari falsafah baju takwa adalah Pancasila. Salah satu pratanda keistimewaan hanya ada di Yogyakarta. Dari pakaian sampai dengan perilaku, hubungan antar manusia, Tuhannya, dan dengan alam semesta.

No comments:

Post a Comment